Ini merupakan postingan di tengah hektik kegiatan perkuliahan semester 4.
Saya tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja dua minggu menjelang ujian akhir semester entah mengapa semuanya jadi terasa semu.
Segala kesibukan ini membuat saya semakin apatis, semakin masa bodoh dengan apa yang terjadi.
Sebaris pertanyaan, "emang beneran kamu mau jadi arsitek?" benar-benar membuat semua mindset di dalam batok bernama kepala ini porak-poranda.
Kalau begitu, untuk apa selama ini kita kuliah, asistensi, absensi, pesentasi, apalagi kka?
Apa sedangkal untuk mencari digit indeks prestasikah selama ini kita asistensi?
Untuk pencitraan angkatankah kita berdarah-darah melaksanakan kka?
Atau untuk legalisasi ujiankah kita setiap minggu mengisi kolom absensi lalu numpang tidur, numpang ngenet, numpang ngecas, numpang makan, atau numpang gosip dalam kelas?
Berilah saya alasan kenapa saya harus mengerjakan tugas yang menekan jam tidur hingga ke titik minimum hampir di setiap malam.
Seorang dosen pernah bercanda, kalau esensi dari empat tahun kuliah adalah demi mencari ijazah supaya punya muka di depan calon mertua. Ah bisa saja, bukannya setiap makhluk berkelamin memang berhak untuk kawin?
Mungkin beberapa sahabat ada yang tidak munafik, mereka mengakui semua ini untuk mencari hiasan S.T. di belakang nama mereka dimana (mereka yakin) hal ini akan membuat orangtuanya menjadi bangga padanya.
Tapi terkadang saya bingung dengan maksud "kebanggaan orangtua" itu seperti apa. Apa setelah bilang "Ayah dan Ibu bangga sama kamu, nak" lantas mereka akan memamerkan transkrip nilai kita ke para tetangga di sebelah rumah, ke mertuanya yang jauh disana, ke teman-temannya saat reunian sekolah, kepada dunia di dalam jejaring sosialnya?
Ah, bagaimanapun toh segala hak dan kewajiban akademik yang kita jalani ada karena buah kerja keras mereka juga. Bukannya mereka bekerja untuk membuat kita siap menghadapi dunia, setelah itu giliran kita yang bekerja untuk anak-anak kita kelak seperti yang mereka jalani saat ini? Lalu anak-anak kita melakukan hal yang sama untuk cucu-cucu kita, dan cucu-cucu kita untuk cicit-cicit kita, dan seterusnya dan seterusnya......
Roda macam inilah yang menjadi penggerak orangtua memberikan apapun yang terbaik untuk anak mereka. Yah, pada akhirnya para ayah ibu memang layak (juga ingin) merasa bangga, merasa kerja keras selama ini setimpal dengan hasilnya, kita - anak mereka. Hingga ada label "tahu diri" di setiap benak para anak untuk membuat orangtuanya bangga, membalas mereka dengan melakukan hal yang "terbaik" pun menjadi fardlu ain' hukumnya.
Apakah yang "terbaik" haruslah berupa titel S.T. di belakang nama kita?
Asumsikanlah begitu.
Tapi apa kualitas S.T. yang kelak nangkring di belakang nama kita akan sesuai dengan kualitas Sarjana Teknik yang seharusnya?
Apa rela S.T. yang kita raih berasal dari presensi-presensi kopong hasil titip absen, atau dari laporan-laporan ctrl+C dan ctrl+V, atau dari tugas-tugas setengah hati dengan presentasi-presentasi tanpa arti?
Apa harus untuk meraih S.T. kita mengikuti rutinitas-rutinitas yang itu itu saja, melakukan kegiatan yang itu-itu saja, memikirkan hal-hal yang didiktekan oleh dosen-dosen kita?
Tanpa tahu hakikat dari ilmu yang kita dalami. Dan tertekan dengan berbagai ekspektasi. Apa yang salah dari sistem akademik macam ini?
Kebanggaan macam apa yang ingin kau berikan pada orang tuamu, Nak?
Saya menjadi malas dan semakin malas untuk mencari tahu, menjadi malas untuk melakukan ini dan itu, menjadi malas untuk menyadari betapa terbuangnya waktu.
Terakhir, saya malas untuk menjadi sok peduli pada tetek bengek tak tentu ini.
Awan hitam ini semakin menggelayut dan bertambah besar di dalam benak saya. Mungkin saya belum pernah seapatis ini terhadap masa depan.
Tinggal satu keyakinan yang ada, hanya kepada Nya...
(dibikin saat hujan di Studio Arsitektur 2 sambil denger R.E.M - Imitation of Life)
No comments:
Post a Comment