2016/10/15

Pendakian Papandayan [Agustus 2016] - Terjebak Kapitalis.





Postingan ini kebetulan saya tulis sembari nonton talkshow Sarah Sechan di televisi. Kebetulan, karena - seperti yang kita tau - siang hari di UHF gak ada tontonan lain yang menarik untuk disimak. Sebagai bagian dari intro, di sana Teh Sarah bertanya sama pemirsa,

"Hal apa sih yang kalian syukuri seminggu ke belakang, hingga kalian semangat menghadapi hari Senin?"

Ingin rasanya membalas, "Alhamdullilah, Endonesa parantos merdeka salami 71 taun, Teh. Sami sareng yuswa aki abi.", sungguh jawaban nasionalis, merah putih, dan keluarga cemara sekali. Tapi, pada kenyataanya ya kondisi negara kita mah gini-gini aja, gak signifikan progressnya, meski bukan berarti tak patut untuk disyukuri.

Jadi, jawaban yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan Teteh Sarah versi saya adalah, "Bisa bersua kembali dengan pegunungan." Uwuwuwuwuwuf!

Terakhir kedinginan gara-gara iklim gunung adalah pertengahan 2014, saat itu berlima bareng anak anak gagal KKN nanjak ke Merbabu. It's a long time ago, bahkan saya lupa bulan apa itu kejadiannya berlangsung. Bistu kebanyakan bikin rencana tanpa dapat menciptakan kesempatan, ya jadinya semua pendakian mentok-mentok cuman jadi wacana.

Hingga akhirnya, di Agustus 2016, pas kepala lagi mumet-mumetnya sama proses rekrutmen kerja, mana klien gak bayar-bayar honor, plus larangan buat ambil kerja freelance lagi #malahcurhat, ada seorang Mamas yang mendadak ngajakin nanjak. Bingung? Iya. Curiga? Hemhem. Waspada? Harus. Excited? Pasti!

Awalnya si belio ini mau nanjak ke Rinjani, tapi berhubung Rinjani lagi batuk-batuk dan sepertinya hubungan belio dengan ceweknya di Mataram lagi bermasalah, tabungan pendakian doi dialihanggarankan untuk sepatu impor bermerek Berghaus, tapi tetep sih nyari yang diskonan 50%. Jadi, dalam rangka mengamalkan poin ke lima dari Dasa Dharma Pramuka, saya rela menolong dan tabah menemani kekecewaannya gagal pacaran naik Rinjani 2016.

Rencana pertama sih Masnya ngajakin ke Merbabu, treknya sudah dipahami plus mudah dijangkau dari Jogja. Apalagi kalo bisa ngejar upacara tanggal 17 Agustus di Kenteng Songo kenya keren banget. Tapi berhubung posisi saya lagi di Tasik, dan saya anaknya mageran, kalo bisa sih kita nanjak gunung yang ada di Jawa Barat ajadeh. Dan jatuhlah pilihan kepada Gunung Papandayan. Kenapa? Ada beberapa alasan sih,

  1. Kan saya mageran yah, nah ini gunung lokasinya gak terlalu jauh dari Tasik. Sip lah rasa apel.
  2. Treknya gak begitu berat, cucok lah buat saya yang udah lupa caranya nanjak.
  3. Pemandangan sama vegetasinya gak monoton. Ibarat nonton drama 5 babak, ada aja klimaksnya.
  4. Ada sumber air di basecamp.
  5. Jangankan sumber air. Warung, jamban berbayar, trek motor, ampe satpam aja ada di atas.

Tapi alasan sebenarnyah saya pingin naik Papandayan adalah...........


milkyway!

Thanks @aMrazing, skill fotografi kamu bikin saya kebelet pingin ke Papandayan sedari bulan Mei.

Singkat cerita, berhubung Masnya dapet cuti tanggal 18-19 Agustus kami memutuskan pendakian hari Kamis tanggal 18 aja. Soalnya kalo tanggal 17 atau 19, takutnya jalur pendakian penuh sesyak manusya. Agar postingan ini sedap dipandang nikmat dibaca seperti laporan pendakian pada umumnya, selanjutnya tulisan akan berbentuk list berdasarkan waktu kejadian perkara sahaja yah. Leggo!

_______________________________________________________________________


(H1) 07.00 PAGI

Berhubung persiapan saya masih nol saat Masnya tiba di Tasik malam sebelumnya, rencana yang harusnya dimulai semenjak jam 6 pagi mesti rela agak ngaret buat sewa barang dulu ke daerah Kalangsari. Buat yang berencana memulai pendakian dari Tasik juga, mungkin Malindo Outdoor punya koleksi peralatan nanjak yang keitung lengkap di Priangan Timur #promogratis #anakendorse #ternyatamasihrelasi. Di sini kita sewa satu tenda sama satu carrier.

Sepulang sewa barang, barulah saya packing segala ube rampe pendakian dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pake sepatu, salim sama Bapak, dan cabs!

(H1) 09.00 PAGI

Dari rumah menuju Camp David, tentu tidak bisa diraih hanya dengan satu moda transportasi. Pertama, kita naik beus (iya, b-e-u-s) arah Cineam, turun di bunderan Monumen Hazet, lalu naik angkot ke Singaparna. Di Singaparna turun di terminalnya, di sini agak muter-muter dulu nyari beus Karunia bakti jurusan Garut. Pertama nemu yang eksekutip (ya, pake p) jurusan Kampung Rambutan lewat Garut, tapi niat baik kita menyejahterakan Mamangnya malah ditolak, apakah penampakan kita tidak meyakinkan buat naik beus eksekutip? Entahlah, sampai sekarang masih misteri. Tapi yasudahlah, kita cari aja beus lainnya saja. Ternyata di belakang beus eksekutip tadi ada sesosok beus Karunia Bakti tidak eksekutip. Meski tidak eksekutip, paling tidak dia mau mengangkut kami yang apa adanya ini :')

Apaan 2 jam 14 menit. Kamu tidak menghitung durasi angkot ngetem, Google!
Sebenernya bisa sih naik Elf (sungguh, ditulis dengan ef, dibaca dengan ep). Tapi menurut pengalaman, elf dari Tasik ke Garut kebanyakan ngetemnya daripada jalannya. Gak cocok sama kebutuhan kami yang kepingin ngejar waktu.

Tiba di Kabupaten Garut, kami turun di Perempatan Sukadana, sambung naik angkot yang ke arah Maktal. Nah, dari maktal ada banyak banget opsi menuju Cisurupan, ada angkot, elf, angdes, ataupun beus. Kebetulan kami ketemunya sama angkot jadi capcuslah kita.

(H1) 13.15 SIANG

Seturun dari angkot di Cisurupan, kami agak kaget. Soalnya mamang ojek udah berebut aja nyamperin kita sambil nanya mau ke mana. Sangking kagetnya ampe lupa belum bayar angkot, belibet riweuh sama bawaan, pas bayar uangnya kurang lagih. Kan berlapis lapis yah malunya.

Lunas bayar angkot, kami putuskan buat makan siang di warung nasi seberang jalan. Lupa judul warungnya apa, pokoknya sambel tempenya enyak! Kering dan tahan lama, wajib lah buat dibawa naik ke atas.

Perut kenyang, namun hati terhenyak. Dari Mang ojek yang nungguin kami di depan, didapat informasi ternyata harga tiket masuk ke Kawasan Gunung Papandayan baru aja naik jadi Rp. 65.000. Walau begitu, ada alternatif jalur yang baru dibuka sama warga di kawasan Perhutani, harga masuknya lebih terjangkau Rp 20.000. Fix! Berhubung kita anaknya hemat, cermat, dan bersahaja. Diputuskanlah buat mendaki Papandayan lewat jalur yang baru.

Dan jalan ke basecampnya gak ada pilihan lain selain naik ojek. Setelah tawar-menawar, didapatlah harga Rp 30.000 buat naik ke basecamp baru. Setiba di basecamp baru, ternyata gak ada guide buat nganter sampe Pondok Salada. Kita bisa aja sih masuk, tapi berhubung jalurnya baru dan ada di kawasan Perhutani, Aa nya jadi khawatir takut kita kesasar.

Gapapalah bayar mahal, daripada gak bisa balik. Akhirnya kita mulai perjalanan dari jalur lama, Camp David. Inikah namanya jebakan kapitalis?

(H1) 14.45 SIANG

Dari pantat nempel ke jok motor, siap-siap aja dicurhatin Mang Ojek sepanjang perjalanan. Panjang banget lah curhatannya, intinya kenaikan tiket masuk ke Papandayan berdampak kepada penurunan drastis jumlah wisatawan yang pergi ke sana. Dan imbasnya? Mamang ojek jarang narik, penghasilan bulanan berkurang, anak istri jadi korban. Inilah efek yang gak dipikirkan sama kapitalis macem PT. XXX #gaksebutnama #pokoknyagitu #eaaaaamulaikiri

Melewati palang tiket masuk, untuk camping semalam plus hiking kita diwajibkan membayar masing-masing Rp 55.000. Itu harga weekday, kalo weekend jadi naik 10 rebu. masih untung lah punya muka pribumi, kalo bule harganya bisa lima kali lipat demi untuk naik Papandayan doang.

Nah, di basecamp ini gak ditemui kamar mandi atau toilet, meski ada tempat buat ganti baju sama nitip barang. Tapi jangan khawatir, sepanjang jalur pendakian banyak kok toilet umum buat tempat pipis, mandi, atau ganti baju. Pas repacking di basecamp ini, kita dikasih selembar formulir buat laporan ke tiap tiap pos selama perjalanan. Pokoknya dari Camp Davis sampe Pondok Salada terhitung ada 10 pos security. Meskipun kita gak harus lapor ke setiap pos, tapi kalo nyasar atau ada keadaan darurat banyak Aa Aa yang dapat diandalkan di atas sanah.

Kelar semua urusan administrasi, dengan ucapan bismillahirrohmanirrohim, dimulailah pendakian ini.

gubukcerito.blogspot.com
kurang lebih, begitulah bentuk rutenyah.
(H1) 15.30 SORE

Checkpoint pertama adalah area Kawah Papandayan. Jalannya masih landai, terbentuk dari batu kapur putih putih, dan sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan kebul kawah secara close up. Sangking deketnya, bau belerang nyekgrak gak kira-kira ke idung. Si partner yang sensitivitas (dengan ve) penciumannya tajem, malah engap (dengan pe) di area ini. Bukan awal pendakian yang baik memang untuk dia. Syukurlah saya sih gak ampe bermasalah, tapi tetep aja wajib pake masker tiap lewat ke sini.

Setelah tanjakan entah ke berapa, mulai ditemui vegetasi hijau-hijau sepanjang jalan, kabut mulai menebal, tanah yang dipijak juga mulai berubah. Tapi ga usah khawatir ilang arah, soalnya kita tinggal nunduk ngikutin jejak ban yang biasa lalu-lalang di rute tersebut.

Pokoknya, selesai kawah, kita ketemu persimpangan kalo lurus ke Gober Hoet kalo belok kiri ke Hutan Mati. Dan kita ambil rute lurus.

(H1) 16.35 SORE

Dari vegetasi hijau tadi, rutenya mulai nambah nanjak nanjak nanjak, kayak harga rupiah terhadap dolar. Dan setelah mengingat-ingat lagi, salah satu hal yang paling essensial buat saya selama pendakian adalah tumpuan tangan. Bahasa arsitekturalnya mah railing kali yah. Tapi kan kalo di gunung mana ada yang sepanjang tanjakan nanem besi teralis. Jadi andalan saya ya pepohonan berkayu keras di kiri-kanan, dan itu tersedia di sepanjang jalur menuju Gober Hoet.

Kayaknya karena permulaan yang penuh bau belerang dan kondisinya kurang fit juga efek sepatu baru, si partner tenaganya banyak terkuras di area ini. Kebanyakan ngajak istirahat (meskipun saya yang lebih sering tiba-tiba berenti sih, ehe). Untungnya, trek ini masih punya tanah datar tiap beberapa meter. Ya kalopun engga, kita bisa kok senderan ke batang pohon keras sepanjang jalan. (Yang mana, sebagian malah ditebang. Elah, PT XXX #masihajadisensor)

Selepas dari rute hutan yang mirip sama settingnya felem Into the Woods (2015), kita ketemu sama satu jalan gede ke arah kanan. Ikutin aja terus, emang sih jalurnya agak muter, tapi ini adalah jalur terlandai untuk mencapai Gober Hoet.

(H1) 17.15 SORE

Setelah ngikutin jalan besar tadi, kita ketemu sama sekumpulan warung terpal dengan tenda khas warna biru. Ternyata area itu penanda persimpangan, kalo ke kiri ke Pondok Salada, lurus ke Pangalengan (Bandung), serong kanan ke Tegal Panjang, belok kiri ke Gober Hoet.

Sebenernya Gober Hoet adalah lokasi yang menarik buat berkemah, banyak warung dan dekat dengan posisi sunrise. Tapi berhubung prioritas kami buat pedekate sama sumber air, maka dipilihlah Pondok Salada sebagai lokasi bikin tenda. Emang sih di sana ada isu babi hutan, tapi ada banyak kok ranger dan anjing penjaga yang siap mengusir kawanan oink oink ini (emmmmmm, gak terdengar seimut itu sih).

(H1) 18.00 SORE

Menjelang gelap, tenda kami sudah terpasang di Pondok Salada. Jangan lupa, setiba di Pondok Salada lapor dulu sama petugasnya di pos security pake formulir yang tadi, biar dikasih tempat buat nginep. Ehe.

Setelah tempat bermalam sudah siap, kita langsung buka bungkusan nasi plus sambel tempe dari warung-yang-lupa-judulnya sebagai makan malam. Sebenernya di sini banyak warung kok kalo misalnya sampe atas kami kehabisan bekal. Tapi berhubung hati ini sudah terpaut sama sambel tempe barusan, ya apalah daya aku yang lemah ini.

Abis makan, gelar sleeping bag, jalan-jalan ambil foto langit yang gagal gara-gara kebanyakan salah fokes, lanjut tidur demi esok yang lebih baik.

p.s. gelar sleeping bag.

(H2) 03.00 PAGI

Kebangun gara-gara kedinginan dan pingin pipis. Ternyata di luar kabut tebel banget. Jadi setelah menyelesaikan urusan ke belakang, si partner menyalakan kompor di dalam tenda (saya ulang, menyalakan-kompor-di-dalam-tenda. iya, KOMPOR, kompor : benda yang bisa mengeluarkan api yang lebih besar dari korek, versi jinak dari flamethrower). Sebenarnya, saya peduli dengan keselamatan nyawa dan tenda sewaan, tapi di sisi lain saya makin ga peduli soalnya ujung kaki udah bener-bener kedinginan.

Bodo amat.

Abis tenda agak angetan, kita bobok lagi.

p.s. ada suatu insiden coklat tumpah di sini. tapi sungguh, di momen seperti ini ingatlah kata kata pak ustad : sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang pemaaf. iya kan? heemh. #nganggukmanjah

(H2) 05.00 PAGI

Rekomendasi terbaik untuk menikmati terbitnya matahari di Papandayan adalah dari Gober Hoet. Syukurlah, pas bangun kabut udah turun semua. Jadi kita balik lagi ke rute kemarin untuk kemudian lurus menuju ke sana. Pas nyampe lokasi, ternyata udah rame banyak wisatawan lokal ataupun asing yang menyapa matahari pagi. Pemandangannya? Nuff said, BAGHOES BANGET.

Puas foto-foto, kita penasaran sama lanjutannya jalur Gober Hoet. Pas kita ikutin terus, ternyata mentoknya tebing penuh pepohonan. Yawdah, balik kanan puter arah deh.


(H2) 06.45 PAGI

Waktunya masak! Berhubung di deket tenda kita ada satu warung kosong yang ga kepake, jadi kita nebeng masak sama sarapan di sana deh. Sebenernya kita bisa aja sih jajan sarapan ke warung yang buka, tapikan sense of survivalnya jadi gak kerasa. #aelah #makanannyalupagadifoto #pokoknyagitudeh. Sehabis makan, kita langsung beberes buat turun gunung via Hutan Mati.

Belum berjodoh sama Tegal Alun, Tegal Panjang, apalagi Puncak. Semoga kita bisa berjumpa di pendakian yang selanjutnya yah.

p.s. pengetahuan umum bagi wanita adalah cowok yang bisa masak itu seksi, tapi cowok yang sukarela cuci piring abis makan itu jauh lebih seksi. apalagi kalo pemaaf. iya kan? heemh. #nganggukmanjahlagih

(H2) 09.00 PAGI

Setelah berdoa, kita mulai turun gunung lewat Hutan Mati. Di sini durasi banyak tersita buat foto-foto, soalnya pemandangan Hutan Mati bener-bener beyond expectation. Serasa ada di dalem novelnya C.S. Lewis.

Setelah melewati Hutan Mati, trek turunannya bakal sangat berpasir, penuh batu, dan gersang. Gak banyak pohon yang bisa dijadiin tumpuan. Untungnya pegangan tangan sama partner sih, jadi ada tempat untuk bertumpu. #kedipinmanja #sinihkasihsemangatdulu. Dan gak kerasa, trek ini lebih pendek daripada trek pas berangkat sih, walau begitu lebih curam, jadi tep mesti ekstra hati-hati buat ngelewatinnya.

Dan sesampainya di Camp David udah ada mang Ojek menanti penumpang. Yaudah, tariklah kita untuk pulang kembali ke rumah, Mang. Berangkat!

_______________________________________________________________________


Rekap Budget :

 Bus ke Simpang KHZ Mustofa
   5.000
 Angkot ke Singaparna
 10.000
 Bus Karunia Bakti ke Garut
 20.000
 Angkot ke Maktal
   4.000
 Angkot ke Cisurupan
 15.000
 Beli makan di Warung-Tak-Berjudul
 20.000 (makan di tempat, plus bungkusan)
 Ojek ke Camp David
 30.000 (pinter-pinter nawar aja)
 Tiket Masuk TWA G.Papandayan
 55.000 ( weekend 65k, hiking doang 25k)

TOTAL ; Rp 159.000,-
(ini harga per orang loh ya)

_______________________________________________________________________


Setelah saya menulis hingga akhir, saya kembali lagi ke pertanyaan Sarah Sechan di awal.
"Hal apa sih yang kalian syukuri seminggu ke belakang, hingga kalian semangat menghadapi hari Senin?"
Bersumbu dengan gunung memang menyenangkan, tapi saya bersyukur bisa menghabiskan waktu dan berbagi pengalaman sama kamu. Mungkin gak semuanya keren, banyak hal di luar rencana, dan insiden-insiden yang bikin ilfil di antaranya. But still, it's a moment to treasure.

Terima kasih sudah bersedia melakukan perjalanan bersama. I ink you!


p.s. Semua dokumentasi hilang karena kesalahan install ulang. Wahai umat millenial pengguna fasilitas serba digital, ingatlah selalu untuk membuat backup data dimanapun kalian berada. Sekian.

2 comments: